Januari, 2011

“Nggak papa grogi, yang penting aku senang. Aku nggak ngerti harus ngomong apalagi untuk mengungkapkan kebahagiaanku”

Pesan teks yang kamu kirim malam itu, cukup membuat tidurku justru tak nyenyak. Karena sibuk menghitung berapa jam lagi yang harus aku tunggu sampai kita dapat berjumpa di sekolah. Terbayang-bayang sore tadi, pukul tiga – waktu mulai bicara dari hati ke hati. Mata yang saling malu-malu dan setiap ucapmu yang tak ragu-ragu, membawa kamu dan aku menuju babak baru. Disaksikan sofa berwarna coklat dengan rak di depannya yang penuh buku, kamu bukan lagi temanku. Sekarang aku kekasihmu. Hari-hari dengan seragam putih abu-abu setelah ini bisa kupastikan pasti menyenangkan. Bagaimana tidak, setelah sekian sering tatap mataku tertangkap basah olehmu, kini justru kerap kali lenganmu bersenggolan dengan lenganku di meja depan guru. Ah sungguh. Sejak hari itu lagu Bengawan Solo yang menandakan bel pulang sekolah mendadak tak lagi kunantikan. Aku benci ketika harus berdoa untuk mengakhiri kelas. Lalu kita berjalan menyusuri lorong sekolah, menuruni anak tangga sambil sesekali bercerita membahas apa saja yang belum kita bagi berdua. Aku masih ingat, saat salah satu guru dengan sengaja menggoda kita ketika melewati gazebo tengah. Kemudian disambut oleh sorak sorai teman kita yang ikut bergembira. Romansa masa SMA ini sungguh bikin aku tak kuasa menahan tawa bila mengingatnya.

Ini bukan kali pertama aku merasakan kisah kasih di sekolah, tapi entah apa yang membuatnya sungguh jauh berbeda. Namun ini pertama kalinya, aku berterus terang soal cinta di hadapan ibuku. Kamu menggoreskan kesan bahagia setiap harinya. Pagi berpapasan di depan gerbang sekolah saja sudah berbunga-bunga, belum lagi kalau jam kosong sepanjang hari. Rasanya senyum-senyum sendiri mendengarmu bernyanyi sambil memetik senar gitar di bangku pojok belakang.

berlanjut…